PEMANFAATAN DAHAN SALAK (SALACCA EDULIS) UNTUK KOMPONEN INTERIOR DAN KERAJINAN

Oleh Deny Willy

1. Komoditas dan Potensi Kawasan

Diantara sekian banyak komoditas buah-buahan yang dihasilkan oleh Jawa Barat salah satunya adalah buah salak, dikenal dengan salak Manonjaya. Daerah penghasil salak di Jawa Barat sebagian besar dihasilkan dari Kabupaten Tasikmalaya, enam kecamatan sebagai penghasil utama salak, yaitu Kecamatan Cibalong, Cineam, Manonjaya, Cibeureum, Kawalu, dan Sukaraja, dengan total luas areal perkebunan lokal ± 7.831 ha dan Salak Super ± 350 ha. Budidaya Salak berperan besar bagi hajat hidup masyarakat Tasikmalaya.

Kecamatan Cineam merupakan salah satu kecamatan yang memiliki potensi alam yang cukup melimpah khususnya buah-buahan seperti: salak, dukuh, nangka, rambutan, pisang, dls. Diantara sekian banyak buah-buahan yang berada di Cineam, buah salak merupakan komoditas utama. Hal ini terlihat dengan terdapatnya ribuan hektar kebun salak atau boleh dikatakan hampir seluruh wilayah Kecamatan Cineam didominasi oleh salak. Perkebunan salak di Cineam merupakan kebun milik rakyat yang dikelola oleh penduduk secara mandiri.

Salak Cineam sangat berperan penting bagi roda perekonomian masyarakat, boleh dikatakan sebagai ujung tombak perekonomian Cineam. Kenyataan tersebut dapat dilihat dimana sebagian besar penduduk Cineam memiliki kebun salak yang secara tidak langsung juga menjadi petani salak.

2. Ancaman Pelestarian Kawasan

Beberapa tahun terakhir harga salak Manonjaya Tasikmalaya jatuh drastis dari Rp. 5000,-/kg menjadi Rp. 1000,-/kg, karena beberapa sebab, kalah bersaing dengan salak jenis lain, pasar yang jenuh, transaksi tanpa melalui pasar induk, bersaing dengan buah impor serta kenaikan BBM berturut-turut. Hal ini ditandai dengan semakin kecilnya volume pengiriman salak dari Cineam ke pasar-pasar utama di Jawa Barat sehingga berdampak pada penghasilan penduduk Cineam yang sebagian besar bergantung pada komoditas salak.

Masyarakat sedikit demi sedikit dan meluas mulai menebang dan membabati kebun-kebun salak milik mereka sendiri kemudian menggantinya dengan tanaman yang dianggap lebih memiliki nilai ekonomi seperti pisang, singkong, talas. Karenanya, bila hal tersebut dibiarkan lebih lanjut tidak menutup kemungkinan salak sebagai ciri khas Cineam akan lenyap suatu saat nanti serta ancaman erosi serius


3. Mencari Upaya Alternatif

Rumpun-rumpun tanaman salak yang demikian lebat dengan dahan memiliki persoalan pada perawatannya. Dalam jangka waktu beberapa bulan sekali dahan dari rumpun terluar biasanya tua dan mati secara alami hingga harus dipangkas atau dibiarkan membusuk begitu saja. Umumnya dahan salak yang berlimpah tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal sepele yang sama sekali tidak berdampak secara ekonomi seperti pasak pohon kacang-kacangan pada musim kemarau, pupuk organik (kompos), perangkap burung, mainan kampung.

Melalui gagasan penduduk setempat untuk memanfaatkan dahan salak tua sebagai bahan baku alternatif kerajinan, maka jauh sebelum kegiatan ini secara formal didukung oleh banyak pihak, eksperimen pengolahan telah mulai dilakukan secara serius.


Pentingnya menanggulangi krisis harga salak yang berdampak serius bagi pendapatan masyarakat harus dijawab pula dengan upaya pengembangan usaha kerakyatan yang berbasis atas problem lokalitas dan potensi lokal kawasan. Maka, ide-ide sederhana yang semula berawal dari masyarakat diseriusi secara formal oleh sebuah organisasi sosial yang bergerak dibidang pembinaan desain dan kria yakni Yayasan Apikayu dan beberapa penduduk setempat. Berikutnya mereka bersama-sama membuat program perencanaan strategis berjangka untuk mengembangkan pemanfaatan dahan salak menjadi produk alternatif selain pemanfaatan buahnya dan sekaligus menjadi pilot project untuk start-up klaster baru industri kerajinan dahan salak.

4. Pendampingan dan Pembentukan Wirausaha Baru

Yayasan Apikayu membagi program berjangka pada kegiatan pemanfaatan dahan salak sebagai berikut :

  1. Fase Inkubasi 2003-2005 adalah ketika sekelompok golongan muda masyarakat di Desa Cineam berinisiatif melakukan eksplorasi sederhana pengolahan dahan salak secara mandiri tanpa keterlibatan pihak manapun.
  2. Fase Pertumbuhan 2006 adalah ketika Yayasan melalui pintu Lembaga Penelitian ITB dan dukungan finansial dari LIPI dan DIKTI memberikan bantuan investasi bergulir, pendampingan teknis, akses terhadap jaringan usaha, promosi serta pameran.
  3. Fase Pemantapan 2007 adalah bantuan penguatan usaha dalam bentuk difusi atau insentif teknologi untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi dengan membuat mesin pengirat dahan salak dan pengujian laboratorium terhadap keawetan bahan. Selain itu, untuk mencapai volume target dan sasaran orientasi ekspor maka reliabilitas, standarisasi mutu bahan serta kapasitas produksi merupakan variabel yang harus dipenuhi.
  4. Fase Kemandirian 2008 adalah mutlak bagi Manikmaya menjadi IKM unggulan karena sebagai pencetus produk inovatif, pendampingan secara intensif, kemudahan berbagai akses insentif, serta jaringan kemitraan yang telah tersedia. Manikmaya harus turut membantu tumbuhnya perajin plasma menjadi industri kecil baru disekitarnya untuk menciptakan klaster baru.

Saat ini kegiatan pendampingan komunitas baru perajin dahan salak (start-up) untuk menjadi klaster IKM baru di daerah Cineam mulai berjalan secara formal. Satu-satunya unit usaha pengolahan dahan salak yakni Manikmaya yang sebelumnya bergerak secara informal, telah mendapat pembinaan oleh yayasan sebagai fasilitator kegiatan. Dukungan awal berupa bantuan dana investasi bergulir (revolving grant). Program berjangka tahap awal yang secara berurut dilaksanakan adalah pengembangan produk, konsultasi manajeman dan administrasi usaha, promosi dan pameran.

IKM Manikmaya menerapkan manajemen pemberdayaan masyarakat setempat dengan menawarkan peluang penyediaan kebutuhan pasokan bahan baku produk iratan dahan salak kepada masyarakat. Tawaran ini sekaligus memberi kesempatan bagi Yayasan dan IKM memberikan advokasi dilapangan tentang pentingnya menjaga pelestarian kawasan dari penggundulan sampai ancaman bahaya erosi sesuai konsep awal program ini.

Masyarakat yang memasok iratan dahan kepada Manikmaya cepat meluas hal ini disebabkan upah kerja rumahan seperti mute, kerajinan kaleng, memasang manik, ternyata lebih murah dari upah membuat bilah/iratan dahan salak. Upah para perajin mute untuk menempel pernik kecil pada baju kebaya untuk 5 kebaya dalam satu hari hanya menghasilkan sejumlah Rp. 2.500,-. Upah tersebut tidak sebanyak upah membuat bilah iratan, Sehelai iratan dahan salak ukuran 65cm dihargai Rp. 10,- dimana selama satu hari per orang mampu menghasilkan tidak kurang dari 400 helai iratan dengan total pendapatan Rp. 4000,-/hari bila seluruh iratan tersebut dianggap baik dan tidak ada yang diafkir. Setiapp masyarakat yang berminat memasok bahan baku tersebut IKM Manikmaya memberikan bantuan alat sederhana pisau pengirat. Sampai saat ini, setiap akhir bulan lebih dari 50 orang yang tersebar di tiga desa, yakni desa Cineam, desa Garunggang dan desa Rajadatu telah memasok bahan baku iratan dahan salak dengan jumlah yang cenderung meningkat.

Manikmaya akan tetap fokus pada bidang desain, pencelupan, pewarnaan, motif dan penenunan yang telah dikembangkan hingga menjadi ciri Manikmaya. Tidak jauh dari workshop Manikmaya beberapa masyarakat mulai meniru dan memproduksi sendiri produk kerajinan dahan salak walau dengan mutu yang jauh berbeda. Tabel dibawah memberikan informasi perbandingan selisih keuntungan dari produk kerajinan dahan salak dengan harga buah salak sendiri. Melalui perbandingan, terlihat produk dahan salak memiliki nilai ekonomi yang lebih baik dari hasil buah salaknya sendiri dan dapat diproduksi tanpa menunggu lamanya masa panen.




5. Pengolahan Dahan Salak untuk Kerajinan

Salak (Salacca Edullis) adalah tanaman asli Indonesia, termasuk famili Palmae serumpun dengan kelapa, kelapa sawit, aren (enau), palem, pakis yang bercabang rendah dan tegak. Batang salak hampir tidak terlihat karena tertutup pelepah daun yang berduri yang tersusun rapat, dari batang yang berduri itu, akan tumbuh menjadi tunas anakan. Ketinggiannya mencapai antara 1,5-5 m, bergantung pada jenisnya. Buah Salak tumbuh di ruang antara pangkal dasar diantara kumpulan duri pangkal dahan yang lebat. Tekstur kulit buahnya bergerigi menyerupai kulit ular sehingga dikenal juga dengan snakefruit. Rasa buah salak bervariasi manis, asam, sepet, masir, umumnya selain dikonsumsi sebagai buah segar juga dijadikan makanan olahan, seperti manisan, dodol, dll.

a. Pembahanan

Dahan salak sangat berlimpah namun awalnya dipandang kurang berguna oleh petani salak, selain dibiarkan tumbang dan membusuk dengan sendirinya pemangkasan dahan salak juga dilakukan untuk memudahkan mengambil buahnya. Tanaman salak bersifat mikropodial, dimana dahan terluar adalah yang tertua. Tangkal dahan cenderung tebal dan besar pada titik percabangan dengan dahan yang meruncing ke ujungnya hingga 3-5 m. Sepertiga dahan berpenampang hampir bulat sempurna, kian ke ujung mulai ada cekungan sehingga berbentuk tapal kuda, hingga runcing pada ujungnya. Dalam jarak 3-5 cm setelah setengah pokok dasar terdapat titik pertemuan dahan dan tulang daun. Cara mengkonsumsi dahan salak untuk iratan adalah dengan merontokan duri pada dahan yang akan dikonsumsi kemudian membuang kira-kira 20 cm pangkal dahan yang dipenuhi duri besar, rapat serta bentuk tidak beraturan. Kemudian dari ujung dahan bagian atas yang runcing dan dipenuhi pelepah daun dapat dibuang sepanjang 1,5 m hingga tersisa dahan yang memiliki penampang cukup baik kira-kira sepanjang 1 m.

Berbeda dengan bambu, proses pengolahan bahan baku dahan salak membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Untuk mengambil dahan salak maka perajin harus berjalan dengan membungkuk dalam rimbunnya rumpun sekaligus menghindari tergores duri-duri dahan salak. Saat penebangan dahan salak tersebut juga harus berhadapan dengan nyamuk kebun dan menjaga kehati-hatian terhadap ular hijau. Setelah sejumlah dahan diperoleh maka para pemasok akan memproses lebih lanjut dirumah mereka. Selanjutnya dahan dipotong sesuai standar konsumsi yakni 65cm dengan mempertimbangkan penampang dan permukaan kulit dahan yang paling baik, ukuran tersebut menyesuaikan lebar ATBM. Dahan dibuang kulitnya dan meratakan permukaan dari bekas-bekas duri menggunakan pisau pengerik khusus. Setelah dahan benar-benar bersih baru diirat menjadi bilah-bilah dengan lebar 0,3 mm dan ketebalan 0,2 mm. Sulit memperoleh ukuran bilah yang standar bila pengiratan dilakukan secara manual. Maka saat ini tengah disiapkan pengadaan mesin pengirat dahan Salak untuk membantu standarisasi. Satu dahan salak sepanjang 65 cm dapat dihasilkan 10 buah bilah iratan. Berikutnya bilah dihampelas ambang satu persatu dan membutuhkan waktu yang sangat lama pula. Bilah iratan kemudian dijemur dibawah matahari langsung atau tidak langsung, proses tidak langsung menggunakan lembaran asbes seng atau plastik sebagai penghalang cahaya sehingga menghasilkan kilap warna yang lebih baik (color and sheen grade).

Selain dahan nampaknya serat salak bila dikembangkan lebih lanjut dapat menjadi bahan baku olahan yang baik pula. Ternyata dahan yang telah tua dan kering alami ketika diiris keliling penampangnya, lalu dipisahkan dengan cara ditarik akan tampak benang-benang panjang yang kaku, namun halus. Pada dahan yang masih muda benang ini lebih lembut dan seringkali masih berupa serat halus yang sulit dipisahkan dari gabus dahannya.

b. Pewarnaan

Sebelum melalui proses pewarnaan, pengawetan masih bersifat opsional dan dapat dilakukan dengan dua cara yakni direndam bahan pengawet kayu yang umum tersedia di pasaran atau melalui pembakaran belerang dan mengalirkan asapnya pada tumpukan iratan. Pengawetan selama beberapa waktu dimaksudkan untuk menghindari hama kutu wol (Cerataphis sp.), kumbang pengerek tunas dan batang (Omotemnus sp.) dan jamur.

Teknik pewarnaan dengan proses pencelupan menggunakan pewarna basis yang direbus selama beberapa menit di wajan ataupun tong yang disesuaikan dengan gradasi warna yang diinginkan, misalnya untuk pewarnaan satu warna maka perendaman dalam tong jauh lebih baik dibanding menggunakan wajan. Penting sekali membuat takaran terukur formulasi larutan untuk menjaga standarisasi warna mengingat dipasaran hanya tersedia beberapa pilihan warna pokok. Pengoplosan menjadi cara untuk mencapai warna yang diharapkan, pilihan warna tertentu bahkan merupakan campuran larutan 4 sampai 5 pewarna dengan takaran tertentu.

Hal yang perlu diperhatikan pada saat pencelupan adalah kepekatan warna, panas air, dan yang terakhir adalah lama waktu pencelupan rumpun iratan, khususnya bila pencelupan gradasi warna. Rata-rata hanya dibutuhkan kurang dari satu menit bagi dahan salak untuk menyerap secara optimal. Daya serap terhadap larutan pewarna yang tinggi menjadi keunggulan dari iratan dahan salak, bila dibandingkan dengan material sejenis lainnya seperti bambu dan rotan yang membutuhkan waktu berjam-jam lamanya untuk menyerap larutan pewarna.

Untuk menjaga kehalusan gradasi biarkan sisi warna yang telah dicelup mengering sebentar sehingga ketika dibalik tidak ada warna yang mengalir melintasi bilah yang belum dicelup, tercampurnya warna baru dengan warna lama menyebabkan gradasi yang tidak sempurna. Setelah proses pewarnaan selesai maka bilah tersebut dijemur hingga kering selama kurang lebih 2 jam.

Formulasi pewarnaan dilakukan dengan dua model pencelupan, yakni pencelupan masif dan gradasi. Baik pada pencelupan masif maupun gradasi dilakukan dua langkah pengaturan untuk mencapai kedalaman warna (depth) sebagai pokok terpenting dalam formulasi warna. Pengaturan kedalam warna dilakukan setelah warna dasar diperoleh selanjutnya iratan menyerap lagi formulasi warna dasar dengan tonal gelap dengan perbandingan campuran dasar dan hitam 1:1, sehingga tercapai tonal monokromatik warna dasar gelap.

c. Penenunan

Pengolahan berikutnya adalah teknik tenun madani, yakni teknik tenun baru dengan lusi yang sangat rapat. Pada proses tenun dengan motif atau desain yang bervariasi maka penting sekali dilakukan sortir terakhir untuk menyeragamkan gradasi warna pada bilah. Sebaiknya bilah iratan yang dipakai dalam satu lembar tenunan merupakan rumpun iratan yang dicelup bersamaan dalam satu sesi.

Penggunaan benang nilon merupakan pilihan yang paling ideal, walaupun lebih mahal namun tidak menyebabkan kerutan dan menarik iratan satu dengan lainnya, tipisnya benang nilon tetap akan terlihat netral dan tidak mendominasi tampilan gradasi iratan.

Teknik yang telah dilatih adalah pewarnaan, motif, komposisi serta pengolahan material dengan teknik tenun pada produk tikar dan kerai dahan salak serta penerapannya pada bidang 3dimensi seperti partisi (divider), panel, pintu, dls.

Pengaturan komposisi dan motif pada proses tenun disusun berdasarkan 2 tipe kombinasi, masif dan gradasi. 1 tipe masif dan 4 tipe gradasi. Kemudian disusun melalui kombinasi a. tipe pencelupan, b. komposisi warna, c. variasi silang. Berikutnya melalui beberapa melalui 3 variabel kombinasi ditambah variasi warna yang sedemikian beragam. Hasilnya berupa komposisi motif dan variasi yang sangat baik


Penutup

Vegetasi tanaman Salak yang demikian berlimpah dan cenderung tidak termanfaatkan memiliki potensi untuk bahan baku industri interior /arsitektur. Kegiatan ini memiliki potensi replikasi yang tinggi diseluruh daerah nusantara penghasil salak. Produk kerajinan dahan salak dapat menjadi penghasilan alternatif masyarakat selain mengkonsumsi hasil buahnya. Pengolahan potensi lokal melalui pengembangan desain produk tidak membutuhkan nilai investasi maupun insentif teknologi tinggi. Hal terpenting adalah pendampingan bagi pengrajin inti untuk menjamin keberlanjutannya bagi pengrajin plasma.

Memasuki Fase Pemantapan 2007 dilaksanakan pembuatan mesin pengirat dahan salak melalui Program Insentif Percepatan Difusi dan Pemanfaatan Iptek untuk membantu menyempurnakan kerapihan iratan, standarisasi ukuran iratan, serta meningkatkan kapasitas produksi. Penelitian juga tengah mempersiapkan pengujian keawetan dahan salak sebagai bahan baku baru industri kerajinan sehingga dapat memenuhi standarisasi baku mutu bahan.









Referensi :

  1. Oemar Handojo, Willy, Deny., Ihsan, Muhammad., Ariyanto, Arief. Pengembangan Mesin Pembilah Dahan Salak, (Upaya Penguatan Quality, Cost Delivery (QCD) pada IKM Penghasil Kerajinan Dahan Salak), Program Riset Unggulan ITB – PP SRD, LPPM ITB, 2008
  2. .Willy, Deny., Adhitama, G. Prasetyo. Laporan Penelitian Tahap III Pemanfaatan Batang Salak untuk Produk Aksesoris Interior  Pemberdayaan Ekonomi Petani Salak, Desa Cineam, Tasikmalaya. Program IPTEKDA IX – LIPI, Februari 2007.
  3. Willy, Deny, Handojo, Oemar. Laporan Pendahuluan : Penelitian Mesin Perontok Duri dan Pengirat Batang Salak untuk Peningkatan Kapasitas Produksi Kerajinan Batang Salak; Penguatan Komunitas baru Perajin Batang salak Desa Cineam, tasikmalaya, Program Insentif Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI-Yayasan Apikayu. Februari 2007.
  4. Adhitama, G. Prasetyo., Willy, Deny. Pemanfaatan Limbah Batang Salak untuk Aksesoris Interior. Program Vucer Dikti, 2006.
  5. Willy, Deny; Mengilmiahkan Kemahiran Lokal dalam Wacana Dominasi Teknologi. Makalah Seminar Nasional Teknologi Bambu Terkini, Bamboo Center, Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, Juli 2006.
  6. Willy, Deny; Furnitur Tradisional (Bambu & Rotan) Diktat Kuliah, Penerbit ITB, 2005

Catatan :

Seluruh tulisan merupakan hasil penelitian dan pemberdayaan masyarakat bekerjasama dengan IKM Manikmaya, Masyarakat Cineam, Yayasan Apikayu, KK Manusia dan Ruang Interior ITB, KK Desain Produk Industri dan Manusia ITB, PP Seni Rupa dan Desain ITB, LPPM ITB dalam beberapa program : Program Iptekda LIPI IX 2006, Vucer Dikti 2006, Insentif Ristek RI 2007 dan Riset Unggulan ITB 2008.